JurnalPost.com – Menjelang pemilu tahun 2024, jalan raya di Indonesia dipenuhi dengan baliho kampanye politik. Mulai dari ukuran kecil hingga sangat besar, baliho-baliho ini berdiri megah di pinggir jalan menunggu perhatian calon pemilih. Namun muncul pertanyaan mendasar di benak kita: apakah baliho masih menjadi senjata ampuh dalam kampanye politik di era digital seperti sekarang?
Pemasangan baliho di lokasi-lokasi strategis yang sering dilalui masyarakat sudah menjadi tradisi dalam dunia politik. Tujuannya sangat sederhana, yakni memperkenalkan diri atau calonnya ke publik agar dikenal luas. Namun paradigma sosial tampaknya telah berubah. Saat ini, melihat baliho di pinggir jalan bukanlah prioritas utama perusahaan. Kini mata mereka lebih terfokus pada layar gawai dan menjelajahi dunia maya melalui media sosial.
Kampanye Billboard, yang dahulu dianggap sebagai senjata ampuh, kini mulai kehilangan daya tariknya. Masyarakat lebih memilih menghabiskan waktu di platform digital tempat mereka mengonsumsi informasi politik melalui berbagai konten yang tersebar di internet. Fenomena tersebut tidak lepas dari perubahan demografi pemilih, dimana Generasi Z dan Milenial akan menjadi pemilih terbesar pada pemilu 2024. Menurut prediksi, lebih dari 50 persen total pemilih di seluruh Indonesia akan masuk dalam kategori pertama. -pemilih waktu.
Media sosial dengan segala dinamismenya menjadi alat utama para politisi untuk menjangkau pemilih muda. Basis upaya politik mereka adalah berbagai kampanye digital, video pendek, dan konten kreatif. Bagi politisi yang terbiasa menggunakan metode konvensional, perubahan ini bisa menjadi tantangan besar. Baliho pinggir jalan yang mahal dan mencolok mungkin merupakan investasi yang kurang efektif dibandingkan dengan biaya iklan digital yang biasanya lebih terjangkau.
Namun pergeseran ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap keindahan kota. Pemasangan baliho di tempat yang tidak tepat, misalnya di pepohonan, tidak hanya merusak keindahan lingkungan, tetapi juga menimbulkan kesan negatif terhadap politik tradisional. Kritik terhadap baliho yang mengganggu perencanaan kota menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya menolak kampanye model lama, tetapi juga menuntut keberlanjutan dan penguatan lingkungan.
Kesimpulannya, baliho sepertinya mulai kehilangan daya tariknya dalam kampanye politik di era digital ini. Politisi harus beradaptasi dengan perubahan perilaku pemilih, fokus pada media sosial dan merancang strategi kampanye yang kreatif dan relevan. Meskipun papan reklame masih ada di jalanan, dampaknya perlu dikaji ulang untuk mengakomodasi dinamika pemilu yang semakin digital dan terus berubah.
Penulis: Ardi Afriansyah
Program studi: Pendidikan Kewarganegaraan
Kampus: Universitas Pendidikan Indonesia
Quoted From Many Source