Ibu selalu bangga padamu | Jurnalpost

Ilustrasi oleh gambar Bing

“Dela, ayo bangun, Nduk!”

Gadis kecil yang masih setengah sadar itu mau tidak mau meletakkan sarung kotak-kotak berwarna hijau yang ia gunakan sebagai selimut. Dia menggosok matanya untuk waktu yang lama sambil mengumpulkan separuh hidupnya. Rasanya lima menit yang lalu dia baru saja mendapat nilai 100 dalam matematika.

“Ayo, ayo, mandi. Ibu sudah menyiapkan seragamnya!” Purwanti, ibu Delia berteriak geram lalu meninggalkan putrinya untuk menyiapkan barang.

Sepuluh menit menunggu Dela di teras, namun putrinya tak kunjung datang, maka Purwanti kembali melangkah ke kamar sang putri. Oh, putrinya rupanya kesulitan memakai dasi merah. Hati Purwanti terharu melihat Dela yang mengenakan seragam sekolah kelas tiga SD.

“Kemarilah Nduk, aku akan memakainya,” kata Purwanti lirih. Tangannya menarik bahu Delia mendekat padanya. “Belajarlah dengan giat. Sekarang sudah siap, ayo.”

Dela tersenyum. Ia segera membantu Purwanti membawa lembaran kertas minyak itu sementara ibunya mendorong gerobak sate. Sebenarnya yang dibawa Dela bukanlah sesuatu yang besar, namun ia tetap ingin membantu ibunya. Setelah berjalan kurang lebih lima belas menit, mereka sampai di depan salah satu stadion yang ada di kota Surabaya. Meski bukan hari libur, namun kawasan sekitar stadion menjadi sumber penghidupan Purwanti dan keluarga di pagi hari.

Purwanti mulai membuat stik sate yang dibungkus dengan potongan ayam. Sementara itu, seorang gadis kecil, Dela, dengan rakus memakan sebungkus lemper ayam yang baru saja dibeli ibunya dari penjual makanan ringan di pasar dekat tempat mereka berjualan. Sepasang orang yang nampaknya sudah selesai jogging menghampiri warung Purwanti untuk mengisi perutnya dengan sate ayam.

Dela menjauh sedikit dari kursi plastik itu lalu pergi menyapa Purwanti dan berpamitan berangkat ke sekolah. Jangan sampai aku lupa, ibu mengemas beberapa potong kue beras dan tiga tusuk sate untuk makan siangnya. Mengikuti apa yang diajarkan ibunya, Dela menghampiri kedua pembeli yang sedang berbincang menunggu pesanan selesai.

“Selamat tinggal, paman, bibi.” Dela mencium tangan mereka satu per satu.

“Wah, itu cerdas. Anak Ibu kelas berapa?”

“Kelas tiga, kakak.

“Bersikaplah ceria, adikku, tentang sekolah. Oh iya, di dalamnya ada susu.” Wanita berusia dua puluh tahun itu mengeluarkan sekotak susu rasa strawberry dari tas kecilnya.

“Kak, ya Allah, kamu tidak perlu khawatir seperti ini.” “Saya merasa tidak nyaman,” keluh Purwanti. Wajahnya berseri-seri karena harga sekotak susu hampir setengah harga seporsi sate. Dia mengusap keningnya dengan tangannya, yang mengeluarkan beberapa tetes keringat. Tatapannya masih belum bisa lepas dari susu kemasan. Dela yang berada di tengah situasi tersebut bingung menerima susu tersebut atau tidak.

Wanita yang memberinya susu strawberry itu tersenyum dan mengelus puncak kepala Dela. “Adikku juga seumuran dengan anakmu. Saya ingat betul setiap kali dia berangkat sekolah, dia tidak pernah lupa mencium tangan suami saya. Tapi sepertinya Tuhan lebih menyayanginya, Bu. Ah sudah mulai mereda, tidak apa-apa gan. Ambil saja, semangat sekolah. Buat ibumu bangga,” kata wanita itu sebelum mengulurkan tangannya kepada Dela agar gadis kecil itu memberinya tos.

Dela menurut. “Terima kasih, bibi. Dela pergi duluan. Assalamualaikum.”

Saat Dela pergi, mata Purwanti yang berkaca-kaca terus menatap sosok putrinya yang masih kecil hingga bayangannya menghilang di balik persimpangan.

“Apakah Anda akan pergi sendiri, Nyonya, Nak?” Pertanyaan pembeli itu membuat Purwanti tersadar dan kembali melanjutkan pemotongan lontongnya.

“Iya kakak, dekat sekolah. Tepat di belakang gedung. Oh iya ini sate silahkan dinikmati gih. Terima kasih Kak untuk susunya. Saya sangat senang setiap hari ketika saya melihatnya mengenakan seragam itu. Setiap kali dia memakainya, saya merasa bangga. Saya tidak menyangka hanya berjualan sate saja bisa menyekolahkan anak saya, jadi saya anggap itu berkah.”

“Nggih bu, sami-sami.” Saya yakin putri Anda akan semakin semangat belajarnya karena dia juga memiliki ibu yang hebat.”

Purwanti mendengarnya dan menitikkan air mata. Dia kembali ke belakang gerobak. Bibirnya tak henti-hentinya mengungkapkan rasa syukur karena Yang Maha Kuasa terus memberinya kesempatan dan rezeki untuk menyekolahkan Dela. Harapannya, hingga putrinya bisa melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, ia bisa menyekolahkannya.

TAMAT

Penulis:
Hanum Salsabila
Mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Al Hikmah Surabaya

Quoted From Many Source

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *