Melampaui Bayangan | Jurnalpost

JurnalPost.com – Kedamaian suara kendaraan kembali membekas dalam ingatanku. Lalu aku membuka kembali kotak kenangan yang berisi kenangan masa kecilku. Saya Figo. Saya lahir di keluarga sederhana dan terbatas yang hanya memikirkan apakah saya bisa makan besok, tanpa pilihan menu apa pun. Lauk pauk yang kami makan hanyalah sebagian kecil dari hasil panen sawah yang digarap ayah saya. Tempat tinggal kami sangat sederhana, hanya rumah bambu yang reyot dan bocor. Namun, itu adalah tempat tinggal yang menyembunyikan banyak cerita.

Sekolah adalah dunia kecil yang menyenangkan, meskipun saya harus melawan pembatasan. Keterbatasan yang saya miliki tidak membuat saya menjadi lebih buruk atau menyalahkan saya atas situasi tersebut. Di tengah deretan buku bekas dan pulpen tua yang setia menemaniku, aku membangun mimpi untuk mengubah nasib keluargaku. Saya percaya, usaha sebesar apa pun tidak akan mengkhianati hasil. Saya mungkin mempunyai keterbatasan, namun saya percaya bahwa tekad yang saya miliki dapat membawa saya pada kesuksesan. Sadar akan segala keterbatasan, aku berusaha mewujudkan cita-citaku dengan berusaha mendapatkan beasiswa. Saat itu, beasiswa luar negeri merupakan pintu emas menuju impian yang lebih besar.

Saya pikir seluruh cobaan ini akan berakhir ketika saya berada di luar negeri. Banyak kesulitan yang saya alami, mulai dari merasa sendirian saat pertama kali tiba, hingga harus beradaptasi dengan bahasa yang tidak saya ketahui dan makanan yang tidak biasa saya makan. Awalnya saya merasa risih dengan semua adat istiadat asing tersebut, hingga akhirnya saya merasa terbiasa tinggal di sana. Negara asing tempat saya tinggal ternyata tidak seburuk itu. Saya bisa menghirup udara segar, banyak ilmu baru yang bisa saya peroleh, belum lagi saya selalu disuguhkan teknik-teknik canggih di sana. Menghasilkan uang juga tidak sulit, saya bisa bekerja paruh waktu untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sampai saat itu, saya sedang mengerjakan tesis saya. Realitas kelam mulai muncul. Mendapatkan gelar master bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari pertanyaan besar. Saya mulai bertanya-tanya apakah saya akan terus bekerja di luar negeri? Ataukah aku akan kembali ke Indonesia untuk mengabdi pada tanah airku? Kecemasan menyelimuti hatiku, terlalu banyak kekhawatiran. Mulai dari ketakutan tidak berkecukupan secara materi, hingga ketakutan akan sulitnya mencari pekerjaan. Tapi aku mulai mempertanyakan diriku sendiri. apa maksudku? Apa tujuan hidup saya? Pertanyaan-pertanyaan ini, meski sederhana, tampaknya mengguncang fondasi mimpi. Hingga, dalam keheningan malam, kutemukan jawabannya di tengah riuhnya bisikan hatiku. Saya memutuskan untuk pulang.

Dengan bangga saya perkenalkan diri saya kembali, saya Figo, seorang master yang saat ini beroperasi di daerah paling terpencil, yang juga merupakan surga tersembunyi di Indonesia bagian timur. Saya menyadari bahwa impian bekerja di luar negeri adalah impian pribadi saya. Beberapa orang bahkan mengejek saya: “Untuk apa belajar jauh-jauh ke luar negeri kalau Anda hanya harus bekerja di pinggiran?”, tapi menurut saya bukan itu saja. Ketika saya memikirkannya, saya menyadari bahwa tujuan saya tidak semudah yang saya kira. Meski saya berharap bisa bekerja di luar negeri demi kesejahteraan ekonomi, pada hakikatnya keinginan saya yang lebih besar adalah menjadi manusia yang berguna. Salah satu cara yang saya pilih untuk mencapai impian tersebut adalah dengan kembali ke Indonesia dan melakukan pengabdian masyarakat.

Pulang ke rumah bukanlah akhir cerita, melainkan babak baru. Saya membawa kembali sejuta mimpi dan memulai perjalanan mengabdi pada negara saya. Saat ini saya fokus membantu para penyandang disabilitas yang mungkin bernasib sama dengan saya dan sedang mencari secercah harapan. Kecintaan pada tanah air juga membawa saya sampai pada posisi saya saat ini. Melalui perjuangan membangun daerah terpencil, seiring dengan matahari terbenam yang menciptakan lukisan warna-warni di langit, serta suasana pulau yang tenang dan damai, sangat cocok untuk melepaskan diri dari hiruk pikuk perkotaan, saya mencoba menyemangati mereka yang membatasi. Membiarkan rakyat kecil tumbuh dan berkembang seperti tanaman yang tumbuh di kebun yang dirawat ayahku.

Kisah ini menjadi bukti bahwa pulang ke rumah bukanlah sebuah langkah mundur, namun sebuah langkah berani menuju perubahan. Di tengah deburan ombak, aku ingin berteriak lantang bahwa aku bangga menjadi anak Indonesia. Akulah Figo yang dulunya hanyalah seorang anak biasa, kini aku berdiri di tengah ladang harapan. Sebagai anak bangsa, saya bertekad untuk terus mengabdi dan memajukan negara dengan langkah-langkah kecil dan bermakna.

Penulis:
Fananda Aprilia Nurbaita
Mahasiswa program Mengajar SD STKIP Al Hikmah Surabaya

Quoted From Many Source

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *